BAB
I
PENDAHULUAN
I1. Latar
Belakang
Antropologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia, baik itu secara budaya maupun
ragawi. Antropologi Ragawi berusaha untuk menjelaskan tentang bagaimana
terjadinya bermacam-macam ras manusia dipandang dari ciri -ciri fisiknya, baik
secara fenotip maupun genotip. Antropologi Dental merupakan bagian dari
Antropologi Ragawi yang mempelajari tentang gigi. Mempelajari Antropologi
Dental dapat mengetahui pengertian dentisi (khususnya bentuk gigi ditinjau dari
sudut pandang anatomi, paleontologi antr opologi, dan odontologi), dan
morfologi
dentisi berdasarkan variasi dan perbedaan dalam rentang ruang dan waktu.
Antropologi
Dental merupakan bagian dari ilmu alam, karena dia merupakan bagian dari Antropologi
Ragawi. Dalam studi Antropologi Dental, mau ti dak mau seseorang harus mengaitkannya
dengan ilmu alam dan ilmu sosial. Dengan kajian Antropologi Dental seseorang dapat,
misalnya, menentukan karakteristik ras, mengetahui faktor -faktor sosial apa
yang berkontribusi terhadap karies dan penyakit periodonta l, dan menggunakan
Antropologi Dental seorang paleoantropolog dapat melacak evolusi dari ordo
primata (Artaria, 2009:1) Gigi geligi dan mulut mempunyai arti penting dalam
kehidupan karena di samping merupakan alat pengunyah makanan, gigi dan mulut
juga mer upakan alat komunikasi.
Kesehatan gigi
dan mulut di samping merupakan salah satu unsur penunjang kesehatan individual,
juga penting bagi kehidupan sosial. Seseorang yang kesehatan gigi dan mulutnya kurang
baik, biasanya malu untuk bergaul dengan lingkungan nya. Gigi memiliki banyak
fungsi sebagaimana organ -organ keras tubuh kita lainnya.
I2. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah
dari proposal ini adalah :
- Bagaimana
perbedaan derajad atrisi antara cetak gigi dari individu sekarang dengan tengkorak
pada ras deutromelayid?
I4. Tujuan
Penelitian
Tujuan dari
proposal ini adalah untuk mengetahui derajad perbedaan Atrisi intensif gigi
posterior. Manfaat dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat
perbedaan atrisi pada g igi ditinjau dari pola diet antara manusia sekarang
dengan manusia jaman dahulu. Peneliti memilih gigi posterior karena gigi
posterior cenderung berpeluang lebih besar terdapat atrisi.
I5. Manfaat
Penelitian
Manfaat dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan derajad atrisi pada gigi
posterior dengan pembanding tengkorak dan cetakan gigi dari manusia hidup. Tengkorak
mewakili populasi dari masa lampau, dan cetakan gigi mewakili populasi modern.
I7. Metode
Penelitian
Metode
penelitian oleh penulis dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek, dan
subyek yang diteliti serta studi ilmu penulis, sehingga penulis dapat
mengetahui perbedaan derajad atrisi gigi posterior pada tengkorak dan manusia
hidup pada ras deutromelayid.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Pengertian
Atrisi
Bangsa Indonesia
dengan berbagai macam suku dan kebiasaan yang beraneka coraknya, tentu akan
memberikan berbagai variasi pola perubahan gigi. Demikian pula dengan pola dan derajat
atrisi gigi yang terjadi.
Menurut
Murphy,1959; Cook et al., 1984 (dalam Wijaya, 1996:5) pola dan derajat keausan
gigi akan sangat bermanfaat bagi penentuan usia orang dewasa. Sedang pola dan derajat
keausan gigi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, lingkungan
dan kebiasaan individu dan masyarakat yang dihubungkan dengan kebiasaan makan,
jenis makanan, dan cara mengunyah. Faktor -faktor ini sebagai pengaruh luar.
Sedangkan faktor dari dalam antara lain, kerasnya gigi, kondisi tulang
penyangga, jaringan periodontal, dan tonus otot pengunyahan.
II.2 Hal-hal
yang berhubungan dengan Atrisi
Dari pengertian
atrisi di atas, jelas bahwa atrisi berhubungan dengan pengunyahan. Berbicara
tentang penguyahan akan berhubungan dengan sistem penguyahan, yaitu tulang, persendian,
ligamen, gigi, dan otot-otot. Semua ini akan dikontrol oleh sistem
kontrol saraf. Setiap gerakan akan dikoordinasi untuk memperoleh fungsi
maksimum dengan kerusakan seminimal mungkin. Pada saat mengunyah, komponen yang
pertama berhubungan dengan makanan adalah gigi-geligi untuk menghancurkan
partikel -partikel makanan agar dapat ditelan. Keras, lunaknya makanan akan
berpengaruh langsung terhadap keausan permukaan email, sebelum
berpengaruh terhadap kompon-komponen lain seperti dentin, pulpa,
jaringan penyangga gigi, TMJ (temporomandibular joint), dan
otot-otot. Individu yang sering mengkonsumsi makanan keras, permukaan daerah
kunyah akan terlihat aus (Wijaya, 1996:8).
II.3
Faktor-faktor yang mempengaruhi Atrisi
Biasanya
diasumsikan bahwa atrisi terjadi ketika gigi mengunyah sesuatu yang keras (Wolpoff,
1970 dalam Hillson, 2002:242), tetapi pengunyahan terjadi hanya dalam waktu
yang sangat sedikit dalam waktu 24 jam. Gigi lebih mungkin untuk dikatupkan
satu sama lain ketika tidak sedang dalam mengunyah. Bruxisme atau kerot
baik ketika tidur maupun bangun menyebabkan keausan yang besar daripada
pengunyahan. Beberapa studi klinis telah memfokuskan terutama pada abnormalitas
keausan yang parah (Johansson et al., 1991; Johansson, 1992 dalam Hillson,
2002:242). Beberapa studi (Owen et al., 1991 dalam Hillson, 2002:242)
menunjukkan adanya hubungan antara ukuran dan bentuk condylus mandibularis dan keausan,
sementara penelitian yang lain (Whittaker et al., 1985 dalam Hillson, 2002:242)
tidak menunjukkan adanya korelasi tersebut. Studi yang lain menunjukkan adanya
hubungan antara degenerasi pada TMJ dan keausan (Richards dan Brown, 1981,
Richards, 1990 dalam Hillso n 2002:242), sementara penelitian yang lain
menunjukkkan tidak ada hubungan diantara keduanya (Seligman et al., 1988;
Sheridan et al., 1991; Pullinger & Seligman, 1993 dalam Hillson 2002:242). Martin,
1990,
II.4 Pola makan,
Keausan dan Keausan Micro (Microwear)
Pada tingakatan
makroskopis, keausan gigi men unjukkan beberapa pola khusus, contohnya kelompok
pemburu-peramu mempunyai distribusi yang berbeda dan sudut keausan yang berbeda
dari kelompok agrikultural. Di Amerika Utara pola keausan yang berubah cocok dengan
bukti-bukti tingkatan karies dan isotop ya ng stabil berkaitan dengan semakin
banyaknya dikonsumsinya jagung. Bahkan ketika dilihat dengan mata telanjang
keausan gigi mempunyai tempat yang penting dalam rekonstruksi manusia di masa
lalu. Studi tentang microwear gigi masih berlanjut, banyak sekali p
erbedaan-perbedaaan microwear tetapi hasilnya masih sulit untuk di
interpretasi (Hillson, 2002:292).
BAB
III
TEMUAN
DAN ANALISIS DATA
III.1 Temuan
Data
III.1.1 Tempat,
Waktu, dan Populasi Peneleitian
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mulai tanggal 2 November samp ai tanggal 17
Desember 2009, di Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga.
Sampel tengkorak berjumlah 12 buah, dengan pembagian 10 tengkorak laki - laki
dan 2 tengkorak perempuan. Sedangkan sampel manusia (cetakan gigi) berjumlah 50
buah, dengan pembagian 7 cetak gigi laki -laki dan 43 cetak gigi perempuan.
Target populasi pada orang dewasa usia 18 – 50 tahun, di daerah perkotaan.
BAB
IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil temuan data di lapangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara
lain:
17. Tinggi
rendahnya derajat atrisi ditentukan oleh pola makan dan kebiasaan tiap-tiap
individu. Tetapi, pola makan memang mempunyai peran yang sangat dominan pada
proses pengausan pada gigi. Frekuensi pengunyahan yang dibutuhkan untuk
menghancurkan makanan keras lebih besar dibandingkan makanan lunak. Faktor dari
oklusi juga penting, karena ada beberapa penelitian yang menemukan pada
saat pengunyahan terjadi, maka lambat laun substansi gigi akan mengalami
keausan.
18. Jenis
kelamin tidak mempengaruhi tinggi rendahnya deraj ad atrisi antara tengkorak
dengan manusia hidup. Meskipun terdapat perbedaan pola makan diantara keduanya,
tetapi hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap atrisi. Tetapi,
hasil dilapangan menemukan derajad atrisi yang tinggi rata –rata ditemukan pada
sampel perempuan. Dengan catatan, dari total 62 sampel, 44 diantaranya adalah
perempuan. 19. Pada populasi manusia modern, atrisi cenderung tidak ada bahkan
melambat, karena faktor makanan yang mulai lembut dan tidak mengandung kerikil selain
itu juga banyak ditemukan gigi yang tidak tumbuh, adaptasi dari gigi karena
jarang digunakan, meskipun sudah dewasa.
20. Pada
populasi masa lampau, atrisi masih berpeluang muncul selain karena faktor
makanan yang masih keras dan teknik penyiapan makanan yang masih sederhana,
juga pengetahuan akan kesehatan gigi dan mulut masih kurang. 21. Terlihat
pola-pola atrisi gigi rahang bawah lebih parah daripada gigi –gigi rahang atas.
Hal ini disebabkan pada saat proses mengunyah, gigi -gigi rahang atas hanya
bersifat pasif, sedang gigi -gigi rahang bawah bersifat aktif. 22. Bagian sisi
kiri, baik pada rahang atas maupun rahang bawah, merupakan sisi yang paling
dominan digunakan untuk mengunyah. Hal ini dibuktikan dengan tabel frekuensi
kemunculan atrisi di tiap molar pada rahang dan sisi yang berbeda
menunjukkan M 1 sampai M 3 rahang atas sisi kiri lebih banyak skor atrisinya.
23. Derajad
atrisi akan bertambah parah dengan bertambahnya usia, karena semakin lama
mengkonsumsi makanan keras, gesekan pada gigi yang terjadi lebih banyak, atrisi
yang te rjadi akan lebih parah.
IV.2 Saran
Berdasarkan penemuan
yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dianjurkan beberapa saran sebagai
berikut:
4. Meningkatkan
pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut serta selalu menjaga kebersihan
gigi.
5. Perlunya
penelitian lebih lanjut bagaimana pola karies pada gigi geligi yang mengalami
atrisi.
6. Dari
peneletian ini diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut untuk mengkaji
serta mencari alternatif terbaik dalam penanganan atrisi.
7. Perlu adanya
literatur, jurnal, ataupun buku tentang atrisi yang pembuatnya orang Indonesia.
REFERENSI :
http://www.slideshare.net/nishaalifani/contoh-tulisanilmiahlaporanpenelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar