Selasa, 07 Mei 2013

Contoh laporan ilmiah yang baik


BAB I
PENDAHULUAN
I1. Latar Belakang

Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia, baik itu secara budaya maupun ragawi. Antropologi Ragawi berusaha untuk menjelaskan tentang bagaimana terjadinya bermacam-macam ras manusia dipandang dari ciri -ciri fisiknya, baik secara fenotip maupun genotip. Antropologi Dental merupakan bagian dari Antropologi Ragawi yang mempelajari tentang gigi. Mempelajari Antropologi Dental dapat mengetahui pengertian dentisi (khususnya bentuk gigi ditinjau dari sudut pandang anatomi, paleontologi antr opologi, dan odontologi), dan
morfologi dentisi berdasarkan variasi dan perbedaan dalam rentang ruang dan waktu.

Antropologi Dental merupakan bagian dari ilmu alam, karena dia merupakan bagian dari Antropologi Ragawi. Dalam studi Antropologi Dental, mau ti dak mau seseorang harus mengaitkannya dengan ilmu alam dan ilmu sosial. Dengan kajian Antropologi Dental seseorang dapat, misalnya, menentukan karakteristik ras, mengetahui faktor -faktor sosial apa yang berkontribusi terhadap karies dan penyakit periodonta l, dan menggunakan Antropologi Dental seorang paleoantropolog dapat melacak evolusi dari ordo primata (Artaria, 2009:1) Gigi geligi dan mulut mempunyai arti penting dalam kehidupan karena di samping merupakan alat pengunyah makanan, gigi dan mulut juga mer upakan alat komunikasi.

Kesehatan gigi dan mulut di samping merupakan salah satu unsur penunjang kesehatan individual, juga penting bagi kehidupan sosial. Seseorang yang kesehatan gigi dan mulutnya kurang baik, biasanya malu untuk bergaul dengan lingkungan nya. Gigi memiliki banyak fungsi sebagaimana organ -organ keras tubuh kita lainnya.

I2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari proposal ini adalah :
- Bagaimana perbedaan derajad atrisi antara cetak gigi dari individu sekarang dengan tengkorak pada ras deutromelayid?

I4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari proposal ini adalah untuk mengetahui derajad perbedaan Atrisi intensif gigi posterior. Manfaat dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat perbedaan atrisi pada g igi ditinjau dari pola diet antara manusia sekarang dengan manusia jaman dahulu. Peneliti memilih gigi posterior karena gigi posterior cenderung berpeluang lebih besar terdapat atrisi.

I5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan derajad atrisi pada gigi posterior dengan pembanding tengkorak dan cetakan gigi dari manusia hidup. Tengkorak mewakili populasi dari masa lampau, dan cetakan gigi mewakili populasi modern.

I7. Metode Penelitian
Metode penelitian oleh penulis dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek, dan subyek yang diteliti serta studi ilmu penulis, sehingga penulis dapat mengetahui perbedaan derajad atrisi gigi posterior pada tengkorak dan manusia hidup pada ras deutromelayid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Atrisi
Bangsa Indonesia dengan berbagai macam suku dan kebiasaan yang beraneka coraknya, tentu akan memberikan berbagai variasi pola perubahan gigi. Demikian pula dengan pola dan derajat atrisi gigi yang terjadi.

Menurut Murphy,1959; Cook et al., 1984 (dalam Wijaya, 1996:5) pola dan derajat keausan gigi akan sangat bermanfaat bagi penentuan usia orang dewasa. Sedang pola dan derajat keausan gigi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, lingkungan dan kebiasaan individu dan masyarakat yang dihubungkan dengan kebiasaan makan, jenis makanan, dan cara mengunyah. Faktor -faktor ini sebagai pengaruh luar. Sedangkan faktor dari dalam antara lain, kerasnya gigi, kondisi tulang penyangga, jaringan periodontal, dan tonus otot pengunyahan.

II.2 Hal-hal yang berhubungan dengan Atrisi
Dari pengertian atrisi di atas, jelas bahwa atrisi berhubungan dengan pengunyahan. Berbicara tentang penguyahan akan berhubungan dengan sistem penguyahan, yaitu tulang, persendian, ligamen, gigi, dan otot-otot. Semua ini akan dikontrol oleh sistem kontrol saraf. Setiap gerakan akan dikoordinasi untuk memperoleh fungsi maksimum dengan kerusakan seminimal mungkin. Pada saat mengunyah, komponen yang pertama berhubungan dengan makanan adalah gigi-geligi untuk menghancurkan partikel -partikel makanan agar dapat ditelan. Keras, lunaknya makanan akan berpengaruh langsung terhadap keausan permukaan email, sebelum berpengaruh terhadap kompon-komponen lain seperti dentin, pulpa, jaringan penyangga gigi, TMJ (temporomandibular joint), dan otot-otot. Individu yang sering mengkonsumsi makanan keras, permukaan daerah kunyah akan terlihat aus (Wijaya, 1996:8).

II.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Atrisi
Biasanya diasumsikan bahwa atrisi terjadi ketika gigi mengunyah sesuatu yang keras (Wolpoff, 1970 dalam Hillson, 2002:242), tetapi pengunyahan terjadi hanya dalam waktu yang sangat sedikit dalam waktu 24 jam. Gigi lebih mungkin untuk dikatupkan satu sama lain ketika tidak sedang dalam mengunyah. Bruxisme atau kerot baik ketika tidur maupun bangun menyebabkan keausan yang besar daripada pengunyahan. Beberapa studi klinis telah memfokuskan terutama pada abnormalitas keausan yang parah (Johansson et al., 1991; Johansson, 1992 dalam Hillson, 2002:242). Beberapa studi (Owen et al., 1991 dalam Hillson, 2002:242) menunjukkan adanya hubungan antara ukuran dan bentuk condylus mandibularis dan keausan, sementara penelitian yang lain (Whittaker et al., 1985 dalam Hillson, 2002:242) tidak menunjukkan adanya korelasi tersebut. Studi yang lain menunjukkan adanya hubungan antara degenerasi pada TMJ dan keausan (Richards dan Brown, 1981, Richards, 1990 dalam Hillso n 2002:242), sementara penelitian yang lain menunjukkkan tidak ada hubungan diantara keduanya (Seligman et al., 1988; Sheridan et al., 1991; Pullinger & Seligman, 1993 dalam Hillson 2002:242). Martin, 1990,

II.4 Pola makan, Keausan dan Keausan Micro (Microwear)
Pada tingakatan makroskopis, keausan gigi men unjukkan beberapa pola khusus, contohnya kelompok pemburu-peramu mempunyai distribusi yang berbeda dan sudut keausan yang berbeda dari kelompok agrikultural. Di Amerika Utara pola keausan yang berubah cocok dengan bukti-bukti tingkatan karies dan isotop ya ng stabil berkaitan dengan semakin banyaknya dikonsumsinya jagung. Bahkan ketika dilihat dengan mata telanjang keausan gigi mempunyai tempat yang penting dalam rekonstruksi manusia di masa lalu. Studi tentang microwear gigi masih berlanjut, banyak sekali p erbedaan-perbedaaan microwear tetapi hasilnya masih sulit untuk di interpretasi (Hillson, 2002:292).

BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
III.1 Temuan Data
III.1.1 Tempat, Waktu, dan Populasi Peneleitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mulai tanggal 2 November samp ai tanggal 17 Desember 2009, di Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga. Sampel tengkorak berjumlah 12 buah, dengan pembagian 10 tengkorak laki - laki dan 2 tengkorak perempuan. Sedangkan sampel manusia (cetakan gigi) berjumlah 50 buah, dengan pembagian 7 cetak gigi laki -laki dan 43 cetak gigi perempuan. Target populasi pada orang dewasa usia 18 – 50 tahun, di daerah perkotaan.

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan data di lapangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:
17. Tinggi rendahnya derajat atrisi ditentukan oleh pola makan dan kebiasaan tiap-tiap individu. Tetapi, pola makan memang mempunyai peran yang sangat dominan pada proses pengausan pada gigi. Frekuensi pengunyahan yang dibutuhkan untuk menghancurkan makanan keras lebih besar dibandingkan makanan lunak. Faktor dari oklusi juga penting, karena ada beberapa penelitian yang menemukan pada saat pengunyahan terjadi, maka lambat laun substansi gigi akan mengalami keausan.

18. Jenis kelamin tidak mempengaruhi tinggi rendahnya deraj ad atrisi antara tengkorak dengan manusia hidup. Meskipun terdapat perbedaan pola makan diantara keduanya, tetapi hal tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap atrisi. Tetapi, hasil dilapangan menemukan derajad atrisi yang tinggi rata –rata ditemukan pada sampel perempuan. Dengan catatan, dari total 62 sampel, 44 diantaranya adalah perempuan. 19. Pada populasi manusia modern, atrisi cenderung tidak ada bahkan melambat, karena faktor makanan yang mulai lembut dan tidak mengandung kerikil selain itu juga banyak ditemukan gigi yang tidak tumbuh, adaptasi dari gigi karena jarang digunakan, meskipun sudah dewasa.

20. Pada populasi masa lampau, atrisi masih berpeluang muncul selain karena faktor makanan yang masih keras dan teknik penyiapan makanan yang masih sederhana, juga pengetahuan akan kesehatan gigi dan mulut masih kurang. 21. Terlihat pola-pola atrisi gigi rahang bawah lebih parah daripada gigi –gigi rahang atas. Hal ini disebabkan pada saat proses mengunyah, gigi -gigi rahang atas hanya bersifat pasif, sedang gigi -gigi rahang bawah bersifat aktif. 22. Bagian sisi kiri, baik pada rahang atas maupun rahang bawah, merupakan sisi yang paling dominan digunakan untuk mengunyah. Hal ini dibuktikan dengan tabel frekuensi kemunculan atrisi di tiap molar pada rahang dan sisi yang berbeda menunjukkan M 1 sampai M 3 rahang atas sisi kiri lebih banyak skor atrisinya.

23. Derajad atrisi akan bertambah parah dengan bertambahnya usia, karena semakin lama mengkonsumsi makanan keras, gesekan pada gigi yang terjadi lebih banyak, atrisi yang te rjadi akan lebih parah.

IV.2 Saran
Berdasarkan penemuan yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dianjurkan beberapa saran sebagai berikut:

4. Meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut serta selalu menjaga kebersihan gigi.
5. Perlunya penelitian lebih lanjut bagaimana pola karies pada gigi geligi yang mengalami atrisi.
6. Dari peneletian ini diharapkan adanya penelitian yang lebih lanjut untuk mengkaji serta mencari alternatif terbaik dalam penanganan atrisi.
7. Perlu adanya literatur, jurnal, ataupun buku tentang atrisi yang pembuatnya orang Indonesia.

REFERENSI :
http://www.slideshare.net/nishaalifani/contoh-tulisanilmiahlaporanpenelitian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar